Gara- Gara Jambu
Postingan kedua saya ini sebenernya cuma sekedar cerpen waktu jaman SMP dulu (baca: waktu masih alay) sekarang juga sih hehe :D. Cerpen saya ini udah pernah saya post di blog saya dulu (crazywriter-eleven.blogspot.com). Jadi, selamat menikmati kembali :)
Aku pernah punya pengalaman aneh bin
ajaib sama buah satu ini. Buah yang warna kulitnya hijau dan berdaging buah
merah muda. Buah ini, cuma terdiri dari lima huruf aja. Yup, cuma lima huruf
aja yaitu J- A- M- B- U. Tapi, jangan pernah ngeremeh- in buah satu ini. Pasalnya,
gara- gara buah satu ini, tulangku hampir remuk berkeping- keping ( lebay :D),
eh nggak ding cuma gegar otak aja ( lho ? ). Oke, sebenarnya, lima tahun lalu,
saat aku masih memakai seragam merah putih yang di lengan bajunya tersemat
angka empat. Aku pernah jatuh dari ketinggian kira- kira dua setengah meter
gara- gara buah legit satu ini. Beginilah, kisah naas itu bermula.
Minggu pagi kala itu, aku dan kakakku
berniat untuk mencari buah jambu di halaman belakang rumah nenek kami.
“ Fi, hari minggu gini enaknya ngapain
ya ?, “ tanya kakakku.
“ Nguras sungai brantas, kayaknya seru
deh. “ candaku.
“ Ha ha ha ..., kamu bisa aja, gimana
kalau kita ngitung bulu ketek kita aja. Eh
nggak
ding, maksudnya gimana kalau kita manjat pohon jambunya nenek aja ?, “ sahut
kakakku.
“ Ngapain manjat- manjat pohon, mau
ngintip orang mandi apa ?, “ jawabku.
“ Ya nggak lah, emangnya ngapain lagi,
kalau bukan berburu jambu, lumayan
kan ? , “ bujuk kakakku.
“ Ok, let’s go, “ kataku mengiyakan.
Akhirnya melesatlah kita ke rumah
nenek, yang tak jauh dari rumah bibi kami, tempat kami menginap. Setelah sampai
di depan rumah nenek kami tercinta, kakakku mengetuk pintu dan berteriak,
“ Assalamualaikum, nenek oh nenek ! ,
“ mirip gaya Upin dan Ipin di TV. Lho, emangnya lima tahun lalu Upin dan Ipin
udah lahir ?, bukannya bapaknya masih pedekate sama emaknya Upin dan Ipin ya ?
( lho ? ). Setelah, menunggu kira- kira satu menit. Akhirnya, perempuan paruh
baya yang rambutnya udah pada putih semua nongol.
“
Waalaikum salam, ada apa kalian berdua datang ke sini, mau bantuin nenek jemur
ikan asin ?, “ tanya nenekku.
“
Ya nggak lah nek, udah mau abad 21, masa’ masih jemur ikan asin. Kita ber- dua
mau minta izin manjat pohon jambu nenek yang ada di halaman belakang, “ jelas
kakakku.
“
Oh, jadi nanti abad 21 nge- trend nya manjat- manjat pohon sambil ngintipin
orang mandi ?, “ canda nenekku ngaco.
“
Aduh, nenekku tersayayang, ya nggak mungkin lah, kita kemari biasalah mau
berburu jambu. Lumayan kan, kalo di dalemnya ada bonus gocengan, “ sahutku
ngawur.
“
Lho, jadi buah jambu yang ada di halaman belakang itu, ada bonus goceng-annya
?. Kok, kayak undian lotere aja, “ tanya nenekku makin ngawur.
“
Makanya nek, boleh ya kita berburu jambu yang ada di belakang. Lumayan kan,
kalo dalemnya dapat hadiah kipas angin, “ pinta kakakku.
“
Oh, boleh, boleh, asal kalian hati- hati ya. Trus jangan lupa kalo, dalemnya
ada bonus gocengan bagi- bagi nenek ya. Lumayan, buat beli balsem, “ kata
nenekku sambil nyengir kuda.
“ Sip deh, “ kakakku mengiyakan.
Begitu pohon jambu milik nenek kami
ada di depan mata, tanpa ba- bi- bu lagi, kakakku memanjat pohon tersebut
dengan liarnya, mirip simpanse kelaparan. Dengan tangkasnya, kakakku menclok ke
sana- sini mirip nyamuk cari mangsa. Hap, hap satu kali loncat dua- tiga dahan
terlampaui, petik sana- petik sini, lempar sana- lempar sini. Sementara, aku
cuma duduk- duduk DPR aja alias, Di bawah Pohon Rindang, sambil nangkep hasil
petikan kakakku dan sesekali mencoba membantu tugas kakakku dengan memetik
menggunakan galah.
Tapi, jangan salah tugasku itu juga
perlu ketangkasan. Karena, kakakku ngelemparnya nggak tedeng aling- aling dulu
alias main lempar aja. Jadi, aku juga harus tangkas juga nangkepnya, set, set,
set, kayak di pilem- pilem ninja. Sebelum, tuh jambu benjolin kepalaku. Lama-
kelamaan, kakakku ngelemparnya makin ngawur, sampai aku curiga jangan- jangan
kakakku emang nafsu pengen nimpukin aku.
Sampe aku teriak, “ Woooiii … ! mbak
liat- liat dong kalo mau ngelempar, main timpuk aja, emangnya aku maling ayam,
? “.
“
Alah, nggak usah kebanya-kan cincong, di atas sini banyak semut nih. Makanya aku
cepet cepet ngelemparnya. Kamu mah, enak cuma ongkang- ongkang aja,” jawab
kakakku jutek.
“
Eh, siapa bilang, nangkep beginian tuh butuh ketangkasan kayak Ninja Hatori,
biar kepalaku nggak benjol kena lemparan jambu. Lagian, aku juga bantu petik
pake galah, “ tukasku.
“
Tapi, itu kan beda, di bawah kamu mah sejuk kena angin sepoi- sepoi. Nah, aku
malah dikerubutin para fans, kalu fansnya cowok- cowok cakep mah enak, ini
malah semut- semut merah yang pada liar ngerubutin aku, “ keluh kakakku.
“
Mbak, siapa bilang di sini aku nggak di kerubutin fans. Malah, ini fansnya
jambu- jambu yang pada nafsu pengen benjolin kepalaku, “ balasku.
“ Ya udah, dari pada rame mending kamu
aja yang gantiin aku manjat, “
“
Emangnya, aku kera sakti apa disuruh manjat- manjat. Lagian kan, aku nggak bisa
manjat. Nanti, kalau aku yang manjat malah lebih banyak semut lagi,yang ngerubutin
aku kan, wajahku manis, “ cerocosku.
“
Ya sudah, sini aku ajarin biar nanti kamu jago kalo disuruh atraksi sama tukang
topeng monyet, “ ledek kakakku.
“ Eh, emang mukaku mirip monyet ?, “
“
Bukan, muka kamu itu mirip babon lagi ngeden, “ tukas kakakku yang kubalas
dengan cengiran kuda.
Setelah, melewati perdebatan tujuh
hari, tujuh malam, ditengah derasnya hu- jan, diombang- ambingkan gelombang
tsunami, bumi gonjang- ganjing, piring pecah beterbangan, pesta tumpeng di
mana- mana ( lho ? ). Akhirnya, dengan penuh kesabaran dan ketelatenan mirip
ibu- ibu bikin kue apem ( ?!? ). Kakakku mengajariku cara memanjat pohon yang
baik dan benar, sesuai ketentuan SNI ( emangnya helm ? ). Kakakku pun mulai
nyerocos tentang ilmu panjat memanjat secara detail dari panjat pohon, panjat
pinang, panjat genteng bocor sampe gosip tentang meninggalnya Alda Risma (
emang apa hubungannya ? ).
“ Jadi, kalo manjat pohon tuh, kakinya
harus begini … posisi tangannya harus begini … dan bla … bla … bla …, “ cerocos
kakakku, memberikan instruksi.
Sementara aku cuma ngangguk- ngangguk
dan geleng- geleng mirip kuda kena ayan ( emang iya ? ). Eh, nggak ding sebagai
adik penurut dan tidak sombong( hoek ! ), aku nurutin aja apa yang
diinstrusikan kakakku. Berhubung, aku termasuk tipe orang yang cepat mudeng,
maklumlah orang genius ( plak ! ). Jadi, dalam sekejap pun aku sudah mahir
menclok ke sana- sini mirip belalang nyari emaknya. Untuk meringankan
penderitaan kakakku, sebagai adik yang baik hati dan rajin menabung ( hoek ! ),
aku pun rela bertukar tugas dengannya. Tak lupa, kakakku memberikan instruksi
buah mana yang seharusnya kupetik, “ Fi, yang sebelah sana ..., sebelah sini
... bla ... bla ...“.
Awalnya sih, tugasku lancar- lancar
aja, ini terbukti aku sudah mampu menjatuh-kan berton- ton jambu dalam waktu
singkat. Sampai, kakakku ikutan ketimbun jambu yang kupetik saking banyaknya (
?!? ). Eh, enggak ding, cuma tiga belas biji doang dalam waktu kira- kira lima
belas menit ( prok ... prok ... prok ...). Lumayankan untuk ukuran amatir
sepertiku (sombong :D).
Sampai, tibalah detik- detik
mengenaskan itu terjadi. Saat itu, kakakku menyuruhku untuk memetik salah satu
buah jambu yang kematangannya terlihat begitu menggoda itu. Kebetulan, buah
incarannya itu terletak di sebelah timur dan lebih tinggi di atasku.
“ Fi, kayaknya yang sebelah timur itu
udah matang deh. Tolong cepetan ambil dong, “ perintah kakakku sambil berkacak
pinggang mirip juragan di pilem- pilem Cina.
“ Oke bos ! , “ jawabku dengan mulut
penuh buah jambu dari atas pohon.
Namun, apa daya emang nasib bocah
kuntet, aku pun nggak bisa menjangkau buah yang menggiurkan tersebut. Tapi, aku
bukan tipe orang yang gampang menyerah. Aku terus berusaha supaya buah tersebut
jatuh ke tangan orang beriman sepertiku. Bukannya jatuh ke tangan bocah- bocah,
yang biasanya suka menggunakan taktik licik buat nyuri jambu di pohon ini.
Namun, buah itu tak kunjung aku dapatkan padahal, aku terus berusaha melompat
sampai jumpalitan demi mendapatkan buah menggoda itu. Meskipunda banyak semut
yang ngerubutin kakiku, ngotot minta tanda tangan.
Setelah menunggu selama sepuluh tahun
( buset lama amat ! ), eh maksudku selama kira- kira lima belas menit, kakakku
pun tak sabar untuk angkat bicara, “ Heh, lama amat sih kamu di atas sana,
ketiduran ya ?, “.
“ Bukan ketiduran, nih lagi diajakin
semut- semut pergi ke sunatan, “ jawabku ngasal.
“ Kalo kamu nggak bisa, ngomong aja.
Sini, biar aku yang gantiin, “ tawar kakakku.
“ Alah, tenang aja nggak usah, “
jawabku santai, sambil terus melompat dan mengibas-ibaskan kakiku agar, kawanan
semut yang sedang ngerumpi di telapak kakiku pada bubar.
“ Beneran nih ?, “ ulang kakakku.
“ Iya, tenang aja sebentar lagi juga
pasti dapat, “ jawabku.
Tetapi, makin lama, makin banyak semut
yang mengerubungi kakiku. Jurus- jurus injakanku udah nggak mempan lagi buat melenyapkan
kawanan semut yang lagi dugem di kakiku. Sedangkan, lompatanku malah semakin
nggak karuan lagi. Kemudian datanglah kejadian terkutuk itu. Dahan yang
kupijaki perlahan mulai goyah karena, ulahku tadi. Bahkan, aku malah tidak
sadar bahwa dahan yang kupijaki mulai retak karena, terlalu bersemangat untuk
meraih buah jambu di ujung timur itu. Tiba- tiba “ krrraaakkk ..., “ dahan yang
kupijaki rapuh, dan aku sukses terjerambab dari ketinggian dua setengah meter.
Kemudian,
mendarat mulus di atas tanah dengan bunyi “ geedeebuuk, “ yang mengerikan.
Akibatnya, punggung dan lenganku terasa sakit sekali, siku- siku, kaki dan
lututku juga terlihat memar dan terluka.
Seketika itu tangisku meledak bagai
bom atom, “ Hwwaaaaa ... sakit ... !, “
Namun kakakku malah menertawakan dan
menceramahiku, “ Ha ha ha ..., makanya jangan kebanyakan tingkah, aku kan tadi
udah bilang kalo nggak bisa tuh biar aku yang gantiin, “
“ Hu hu hu ...duh, cepet bantuin dong
sakit nih, hu hu hu ..., “ kataku sambil menangis sesenggukan.
“ Iya, iya sini aku bantuin kamu masuk
ke dalam rumah, “ jawab kakakku, sambil memapahku menuju ke dalam rumah.
Setelah memapahku menemui nenek
dikamarnya, kakakku pun menceritakan kejadian naas yang menimpaku kepada nenek,
“Nek, Fia abis jatuh dari pohon nih, kakinya luka- luka, ”.
“ Astaghfirullah, kenapa kok bisa
jatuh dari pohon sih nduk ?, selain kaki mana lagi yang sakit ?,
“ nenek memberondongku dengan pertanyaannya sembari mencari minyak gosok dan
obat antiseptik untukku.
“ Kaki dan siku- sikuku perih sekali
nek, punggung dan lenganku juga sepertinya keseleo, “ jawabku lemah.
“ Makanya toh nduk,
tadi kan nenek udah bilang hati- hati, kalo manjat- manjat nggak usah
kebanyakan eksyen. Kalo udah jatuh begini sakit kan rasanya ?. Lain kali kalo
manjat- manjat pohon lagi hati- hati, “ ceramah nenekku sambil mengobati luka-
lukaku. Sementara aku hanya mengangguk takzim mendengarkan ceramah dari
nenekku.
Akibat kejadian itu, ketika berjalan
punggung dan kakiku terasa sakit dan nyeri sekali selama beberapa hari. Selain
itu, aku juga sempat truma dan kapok tidak akan memanjat pohon lagi selama
beberapa waktu. Semenjak kejadian itu, aku menjadi lebih berhati- hati lagi
jika, tengah memanjat pohon. Karena, aku tidak ingin merasakan rasa sakit itu
lagi.
*-*-*-*-*
Beberapa bulan selanjutnya ...
“ Nek, kita kangen nih pengen berburu
jambu dipohon belakang, boleh ya nek, “ kataku, sambil ngeloyor ke halaman
belakang bersama kakakku dan segera memanjat pohon jambu yang ada di sana.
“ Kita pasti hati- hati kok, nek, “
sahut kakakku meyakinkan.
“ Ck ck ck, anak- anak emang nggak ada
kapoknya, “ ucap nenekku lirih.
Ya, itulah aku emang nggak pernah
kapok..... :P
0 komentar:
Posting Komentar